PT. ARMORY REBORN INDONESIA
Perang Hibrida: Lempar Granat Sembunyi Tangan
Siapa yang tidak takut senjata nuklir? Secara rasional semua negara menghindari untuk menggunakannya duluan, termasuk perang terbuka antarnegara (kuat) seperti sekarang. Tetapi, kalau bicara “perang terselubung”–seperti serangan siber, kampanye hitam/hoaks, propaganda daring,dukungan terhadap milisi insurgen lokal, dan sejenisnya–yang sulit diverifikasi sumbernya, siapa saja bisa melakukannya. Saat ini Rusia diduga sedang dan terus melakukannya terhadap Ukraina dan lain-lain.

Saat ini Ukraina menghadapi trauma yang sama, di mana wilayah sebelah timurnya dirongrong oleh milisi setempat pro-Rusia. Tak lupa, sebelumnya ada ancaman psikologis mobilisasi pasukan Rusia yang jumlahnya tidak sedikit, berkali-kali, di perbatasan Ukraina. Setelah kampanye akar rumput mencapai tujuannya membelah warga sipil, militer Rusia mengambil momentum menyerang Ukraina.

Perang yang Berevolusi

Konflik antarmanusia terus bervolusi. Konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara inovatif, bahkan radikal, sehingga melahirkan varietas baru. Rusia pada invasi Krimea 2014 diduga menerjunkan “pasukan khusus” dari perusahaan kontraktor keamanan Wagner Group andalannya. Di akar rumput, Rusia mempraktikkan kampanye disinformasi yang mempolarisasi pandangan politik warga Krimea, mempersenjatai milisi setempat, blokade ekonomi, dan seterusnya.

Yang menarik juga, pada perang Ukraina sekarang Presiden Vladimir Putin menolak disebut sebagai “perang” ataupun “invasi.” Putin mengklaimnya sebagai “demiliterisasi” (terhadap NATO) dan “de-Nazifikasi” demi melindungi rakyat setempat (yang pro-Rusia) yang dirundung (oleh Barat). Pertanyaannya, apakah benar NATO adalah Nazi, dan rezim Ukraina yang sah juga demikian?

Mengutip KBBI, yang disebut “hibrida” adalah turunan baru (biasanya unggul) dari sumber-sumber yang berbeda. Sejak kemunculan narasi perang hibrida (hybrid warfare/HW) pada 2005 di kalangan militer dan pemerintahan Amerika Serikat, definisi universal konsepnya terus diperdebatkan secara akademis maupun debat politik.

Hal itu mengingat ia bersinggungan dengan konsep “konflik abu-abu” dalam studi Hubungan Internasional. Meski demikian, pemahaman HW dapat membuka cakrawala baru bagi aktor negara terkait dan pemangku kepentingan, dalam mengantisipasi konflik saat ini dan masa depan.

Sederhananya, HW melibatkan gabungan penggunaan instrumen kekuatan/kekuasaan dan perangkat subversi, baik yang konvensional maupun non-konvensional. Penggunaan elemen-elemen tadi dileburkan secara selaras untuk satu-dua tujuan akhir, dengan cara mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan (negara lain).

Ciri utamanya adalah garis batas antara perang (terbuka) dan masa damai yang ambigu. Secara resmi kita (dan mereka) tidak menyatakan berperang, tapi konflik/ketegangan itu riil dan dapat dirasakan efeknya, terutama bagi pihak penerimanya. Bagi pihak penerimanya, apakah yakin dengan kepingan-kepingan informasi di lapangan, lalu menyatakan perang kepada negara yang dicurigainya?

HW yang beroperasi di bawah ambang batas garis perang (terbuka) relatif mudah dilakukan bagi pihak pelakunya, karena selain jauh lebih murah, juga berisiko lebih rendah dan terbilang efektif dibandingkan operasi kinetik tradisional (militer atau intelijen). Contohnya, sebuah negara mensponsori aktor-aktor non-negara, untuk melakukan kampanye disinformasi terhadap otoritas suatu negara.

Jauh lebih murah dan berisiko kecil bukan, jika dibandingkan dengan langsung mengirimkan ribuan pasukan, puluhan tank, maupun sekian skadron jet tempur ke negara lawannya? Dampak kerusakannya pun nyata: ketidakpercayaan masif terhadap otoritas setempat, insurgensi atau revolusi sipil, dan seterusnya. Selain itu, tanpa klaim “perang yang adil” (just war), suatu negara (kuat) berisiko memicu perang dunia selanjutnya, atau minimal cepat gagal karena insurgensi warga lokal.

Tundukkan lawan tanpa perlu berperang (tradisional) dan menangkan hati lawan, begitu doktrin kuno Sun Tzu yang relevansinya masih sah hingga sekarang. Nanti tinggal menunggu momentum jika diperlukan, untuk mengambil celah masuk menyerang pihak lain dan mengamankan kepentingan nasionalnya. Rusia sudah melakukannya, bukan sekali saja, tapi dua kali terhitung sekarang. Semua terjadi dalam rentang waktu kurang dari satu dekade.

Aspek-Aspek Peperangan Hibrida

  1. Musuh-musuh yang kompleks dan cair; bisa berupa negara ataupun non-negara. Contoh: Selain kasus Krimea 2014, ada Hizbullah yang disponsori Iran untuk memerangi Israel.
  2. Menggunakan kombinasi metode konvensional maupun yang tidak lazim. Contoh: operasional ISIS, termasuk kekejamannya yang dipertontonkan kepada dunia.
  3. Penggunaan alutsista canggih dan teknologi maju. Contoh: dalam perang vs Israel 2006, Hizbullah sudah menggunakan rudal terpandu, drones pengintai, telepon genggam terenkripsi, hingga kacamata anti-gelap (NVG).
  4. Penggunaan komunikasi massal sebagai alat propaganda. Contoh: tidak hanya media sosial dan jutaan akun palsunya, tapi juga menjamurnya berbagai situs hoaks dan spam propaganda.

Ciri utama HW lainnya adalah ambiguitas dan/atau anonimitas pelaku utamanya. Serangan-serangan HW hampir pasti sulit diverifikasi sumber utamanya. Misalnya, kasus di mana suatu negara sulit merespons serangan siber terhadap sektor-sektor strategisnya atau kampanye hoaks masif. Pada saat bersamaan, dalam media massa arus utama, narasi pesan yang ditebarkan biasanya lebih halus dan hampir pasti menghitamputihkan suatu isu secara sederhana, mungkin juga emosional.

Jika pun berhasil melacak alamat IP atau kelompok peretasnya, apakah benar sponsornya adalah pemerintahan negara terkait? Bagaimanapun juga, akhirnya pihak otoritas yang diserang jadi terkesan gagal atau lambat, dalam mengembangkan kebijakan dan respons strategiknya. Pakta pertahanan kolektif seperti NATO saja mengakui, sulit sepakat terkait sumber konflik akibat HW Rusia, seperti yang dikemukakan via artikel Global Security Review 2019.

Selain risiko nyawa manusia, biaya perang terbuka teramat mahal. Juga, alutsista teranyar selalu mengisi gudang senjata banyak negara sekarang, sehingga keinginan berperang frontal antarnegara semakin memudar.

Tetapi, itu tidak serta-merta menghilangkan konflik, melainkan mengubah dinamika perang itu sendiri. Peperangan yang tadinya “linear,” atau ada eskalasi-deeskalasi tahapan-tahapan perkembangan strategi dan jalannya peperangan, kini menjadi “tidak linear.”

Kapan mulai dan kapan berhentinya? Negara-negara yang melakukan HW bisa mendapatkan keuntungan optimal darinya (atau nothing to lose), terutama dalam nuansa pendekatan keamanan zero-sum game.

Tidak hanya perekonomian, ranah politik-militer pun mengalami disrupsi pada masa kini seiring berkembangnya populasi, informasi, dan teknologi.

“Perang tidaklah lebih dari kelanjutan politik dengan cara-cara lain,” begitu doktrin militer Clausewitz yang tersohor. Tidak ada yang salah darinya, melainkan kini cara itu telah terekspansi luas dalam HW masa kontemporer.

Taktik HW sebenarnya sudah dipraktikkan umat manusia sejak sejarah perang massal 3.000-an tahun, bahkan oleh AS sendiri. Namun jika kita kritisi, pelabelan HW mungkin saja berawal dari operasional segelintir negara (dan non-negara) yang kontra terhadap AS dan sekutu.

Matriks politik-perang kini menjadi lebih kompleks karena dinamika perang itu sendiri tidaklah kaku. Terkadang melibatkan serangan siber intensif terhadap infrastruktur negara maupun kampanye hoaks. Bisa juga dengan cara mensponsori aktor-aktor non-negara, untuk beroperasi menjatuhkan pihak lawan di dunia nyata ataupun maya.

Contoh Rusia

To be fair, melabeli buta beberapa negara melakukan taktif subversi ‘kotor’ semacam HW terkesan tendensius memihak. Tetapi, data berbicara, selain ada isu rezim-rezim internasional saat ini mayoritasnya didikte dan/atau banyak dibangun oleh hegemon AS dan sekutu.

Bagaimana cara menjatuhkan mereka, tanpa menyatakan perang terbuka duluan? Selain membangun kekuatan internal, tentunya dengan cara mengikis kekuatan lawan, baik secara pelan tapi pasti, ataupun cepat dan intensif. Di situlah taktik HW masuk. Rusia, China, dan Iran adalah beberapa contoh terkemuka pelaku peperangan hibrida masa kini.

Serangan siber seperti dari peretas China dan Rusia pernah dibahas dalam beberapa artikel ARMORY REBORN. Target utama serangannya tidak hanya infrastruktur strategis, seperti sektor energi hingga pemilihan presiden AS, tapi juga perusahaan-perusahaan finansial atau komersial besar, dengan nilai kerugian puluhan dan ratusan juta dollar AS.

Dalam kasus Ukraina, tidak hanya serangan peluru, bom, dan rudal yang menerjang Ukraina, tapi juga serangan digital/siber. Pada awal serangan Rusia tanggal 24 Februari 2022, perusahaan keamanan IT ESET mengidentifikasi banyak serangan malware terhadap komputer-komputer di Ukraina. Virus bernama HermeticWiper itu diketahui berfungsi menghapus semua data yang tersimpan dalam komputer yang terjangkitinya.

Selama berminggu-minggu sebelum invasi Rusia 2022, sistem operasi komputer di berbagai instansi pemerintahan Ukraina dan perbankan sudah diterpa serangan siber. Bentuk serangannya adalah DDoS (distributed denial of service), yaitu di mana server internet suatu instansi dibanjiri permintaan informasi secara sekaligus, sehingga gagal bekerja.

Kedua serangan siber tersebut bukan sesuatu yang sama sekali baru bagi Ukraina. Seperti dilaporkan beberapa media massa, misalnya DW, The Guardian, dan Reuters, keamanan digital di Ukraina sudah mengalami turbulensi setidaknya dalam lima tahun terakhir. Kementerian Pertahanan Jerman sampai merilis peringatan soal disinformasi Rusia baru-baru ini.

Tuduhan perang digital Rusia bukan sebuah isapan jempol. Analisis metadata video-video yang dirilis pemerintahan Rusia dan separatis pro-Rusia terkait invasi ke Ukraina menyisakan tanda tanya besar.

Beberapa di antaranya direkam bukan pada hari yang bersamaan terkait insiden tersebut (seperti yang diklaim videonya), melainkan direkam beberapa hari sebelumnya (pre-recorded). Dengan kata lain, aktualisasi invasi Ukraina sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari.

Di dunia nyata, guncangan serupa juga ditimbulkan secara fisik oleh kelompok separatis pro Rusia di Ukraina bernama Donetsk People’s Republic. DPR terhitung rajin dalam merilis video-video yang mendiskreditkan rezim Ukraina yang sah. Video itu pro-Rusia (dan kebudayaan klasik Soviet). Presiden Putin mendukung keberadaan mereka secara resmi sebelum menginvasi Ukraina, Februari lalu, dan sudah mendukung logistik dan lain-lain secara tak resmi sejak Krimea 2014.

Narasi populer yang dipahami kebanyakan para separatis pro-Rusia biasanya terkait sejarah masa lalu dan kebudayaan Slav. Mereka rata-rata menginginkan lebih dekat dengan gaya Uni Soviet (kini Rusia di tangan rezim Putin), sehingga ingin memisahkan diri dari rezim Ukraina saat ini yang demokratis dan “modern.” Itulah beberapa isu yang kemudian dieksploitasi Presiden Putin dalam peperangan hibridanya terhadap Ukraina dan Barat (AS dan sekutu).

Bahaya “Lemparan Granat” Perang Hibrida

HW asimetris (melibatkan aktor-aktor non-state) adalah sebuah keniscayaan dan masa depan perang modern dan strategi bisnis di seluruh dunia. Dinamika perangnya mengambil banyak bentuk: perang ekonomi, perang industri, perang informasi dan propaganda, dan sebagainya. Setiap metode itu bercirikan ketiadaan penggunaan elemen militer atau perang konvensional, yang terdiri atas pesawat tempur, kapal, dan senjata api pada umumnya.

Pada beberapa kasus seperti separatis DPR, Hizbullah, dan ISIS, HW asimetris menggunakan kombinasi elemen kemiliteran dengan daya rusak yang tidak kecil. Perlawanannya pun tidak mudah dan butuh proses, sebab pengerahan murni kekuatan militer tradisional bisa menjadi bumerang bagi aktor negara, baik secara hukum maupun korban jiwa sipil kolateral.

Berdasarkan identifikasi perluasan matriks trinitas peperangan Clausewitz, prioritas pertama bagi aktor negara adalah pengakuan dan kesigapan terhadap serangan sporadis “non-state X state” semacam itu. Dinamika peperangan terus berubah dan menuntut adaptasi perilaku.

Isu pencurian data dan privasi adalah hal besar zaman sekarang, termasuk keandalan infrastruktur siber dan para teknisi di baliknya. Kerugian ekonomi global akibat serangan siber telah mencapai lebih dari USD 6 triliun per 2021. Menurut analisis Cybersecurity Ventures, diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat selama tahun-tahun mendatang.

Bagi negara-negara berkembang yang memiliki tensi, konflik, bahkan bisnis yang berinteraksi dengan negara-negara “berisiko,” investasi mumpuni di bidang IT dan teknologi kini adalah sebuah kebutuhan. Apalagi jika negara tersebut memiliki sumber daya alam yang melimpah dan potensi SDM yang besar. 

Itu semua bisa menjadi kutukan dan bom waktu, kalau tidak dikelola dengan arif dan profesional. Belanja pertahanan pun tidak bisa lagi jor-joran untuk pos alutsista tradisional semata. Segenap perwira militer dan para pemangku kepentingan dituntut untuk memperbarui mindset-nya.

Dalam menghadapi aktor-aktor non-negara, supremasi negara dirongrong dari berbagai lini dan lapisan masyarakat. Sehingga kolaborasi dengan konstituen atau aktor non-negara yang bermoral dan profesional menjadi urgen.

Secara kelembagaan, itu membutuhkan payung dasar hukum, sehingga parlemen dan eksekutif juga harus sigap/tangkas di dalam mengantisipasi peperangan hibrida asimetris masa kini dan mendatang.

Secara industri pertahanan, krisis hibrida ini menawarkan peluang baru bagi perusahaan kontraktor keamanan maupun perusahaan teknologi. Mengingat sifat proyeknya yang rahasia, sebisa mungkin eksklusif melibatkan entitas lokal. Negara-negara kuat telah memberikan banyak contohnya.

Secara personal, bagaimana kita semua menghadapi “lemparan granat” oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab, yang menggempur setiap hari? Edukasi masyarakat/konstituen menjadi kunci. Anda bisa memilih untuk selalu waspada, menghindar atau berlindung.

Jika Anda terampil, Anda bahkan bisa menangkap granat tersebut dan melemparnya balik. Tetapi itu berisiko tinggi meledak di tangan Anda atau di hadapan orang lain yang tak bersalah. Sesulit dan sekompleks, tapi juga sesederhana, itulah analoginya peperangan hibrida masa kini. Siapa saja bisa melempar granat, dan meledak!***

Artikel ini tampil pada majalah Armory Reborn edisi ke - 17 Maret 2022