PT. ARMORY REBORN INDONESIA
AUKUS dan Perang Supremasi di Kawasan

oleh: Dr. Connie Rahakundini Bakrie

OKTOBER 2021. Makna supremasi negara adalah upaya menegakkan dan menempatkan negara pada posisi tertinggi, dengan menempatkan negara sesuai tempat dan kehormatannya. Ia mampu melindungi seluruh wilayah kedaulatan berikut segenap SDM dan SDA yang dimiliki, tanpa adanya intervensi langsung ataupun tidak langsung oleh dan dari pihak mana pun, dalam cara dan bentuk apa pun.
Ilustrasi kapal selam nuklir AUKUS yang mengitari kapal induk China. Courtesy: Robert Ferguson via Financial Times

Kemitraan militer baru antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia–yang disebut  sebagai AUKUS–merupakan ‘semacam’ pakta pertahanan paling signifikan abad ini. AUKUS menunjukkan supremasi ketiga negara, dalam menarik garis serius untuk menangkal langkah agresif, yang merupakan bagian dari peralihan geopolitik, dengan didorong satu hal besar bersama.

Meski tidak dinyatakan secara tegas, AUKUS bertujuan mencegah China memperbesar dan menggunakan kekuatan pertahanannya. Sehingga AUKUS memiliki kemungkinan luas untuk mempengaruhi secara signifikan pada keseimbangan strategis dan masa depan kawasan. Presiden Biden, PM Scott Morrison, dan PM Boris Johnson dengan tegas menyatakan, AUKUS dibentuk untuk memudahkan ketiga negara berbagi informasi di bidang teknologi kecerdasan buatan, siber, kuantum, sistem bawah air, dan kemampuan serangan jarak jauh misil jelajah.

Hal itu selain secara otomatis akan lebih memberdayakan “The Quad,” yang beranggotakan AS, Jepang, Australia dan India. Quad telah terbentuk sejak 2017 dalam bidang ekonomi, teknologi, dan militer.

Kepentingan Komplementer Kawasan

Ungkapan Robert Kaplan, dalam bukunya The Revenge Of Geography: What The Map Tells Us, About Coming Conflicts and The Battle Against Fate, telah menyatakan pesan penting. Kaplan menyampaikan bahwa negara kawasan–utamanya Indonesia, sebagai pemegang urat nadi perairan kawasan–tidak boleh sama sekali mengabaikan stabilitas.

 

Stabilitas ini terutama mungkin akan segera terdorong oleh isu Laut China Selatan, dengan ratusan pulau kecil, terumbu, dan atol, di mana sesungguhnya hampir semua tak berhubungan dan tidak dapat dihuni. Area ini mencakup luas 1,4 juta km persegi. Warisan kebijakan dari pemerintah China Kuomintang, yang berawal dari 11 garis putus dan sekarang menjadi 9 garis putus, dan kemudian membuat klaim ambigu tentang hak atas perairan di area tersebut.

Selain itu, terdapat kepentingan komplementer yang saling terkait pada area ini, sebagaimana disampaikan Prof. Geoffrey Till dalam bukunya Sea Power: A Guide For 21st Century.

Jelas terjadi benturan, setidaknya pada kepentingan: stok sumber daya energi dan food security, pergerakan sumber daya, lingkungan fisik terkait masalah jurisdiksi dan freedom of navigation/kebebasan berlayar. Juga, area kedaulatan, yang mencakup kepentingan strategi sea denial,” ruang dirgantara, hingga faktor peran dominasi yang dipertaruhkan.

Meskipun China tidak secara eksplisit disebutkan dalam alasan dibentuknya AUKUS, jelas terlihat beberapa hal menandakan penguatan posisi AS terhadap China, dan peningkatan signifikan dari pertaruhan strategis kawasan.

Meskipun terdapat alasan untuk mempertanyakan, apakah Washington benar-benar menginginkan “Perang Dingin Abad XXI” dengan China, pengumuman ini adalah bukti signifikan bahwa AS dan aliansinya bersiap untuk mengambil langkah penting terhadap China.

Pada intinya benturan utama terjadi pada terwujudnya ‘missing link’ antara kepentingan China, AS, serta persekutuan kuat di kawasan, yaitu ASEAN. China menegaskan pentingnya area ini bagi program menyejahterakan area pesisirnya, faktor penguatan ekonomi daerah, serta faktor kebanggaan hegemonik.

Jenis-jenis kapal selam nuklir milik Amerika Serikat. Kolase berbagai sumber

AS menegaskan kepentingannya dari sudut pandang kebebasan beraksi (bukan semata kebebasan bernavigasi) di laut, berbasis prinsip keterlibatan aktif, dan memperluas pertahanan demi kepentingan nasional AS. Sementara ASEAN pun terbentur dalam dinamika pilihan antara kepentingan AS–China–ASEAN, dan perpecahan kepentingan yang mungkin terjadi di antara dinamika negara-negara anggotanya.

Dari sudut pandang Australia, kesepakatan itu secara efektif merupakan pertaruhan pada komitmen jangka panjang Washington, untuk mempertahankan supremasi militernya di Asia. Bagian terpenting dari kemitraan tripartit AUKUS ini adalah Australia akan dipersenjatai dengan armada baru kapal selam bertenaga nuklir (SSN).

Kapal selam nuklir itu memiliki jangkauan dan daya tahan yang jauh lebih besar daripada armada kapal selam diesel buatan Prancis, yang direncanakan sebelumnya. Melengkapi Australia dengan SSN, AS jelas mengharapkan keterlibatan Australia yang lebih besar, dalam upayanya untuk berpartisipasi dalam konflik di masa depan dengan China. Sebenarnya AS terdesak faktor, setelah AS mendadak ‘meninggalkan’ Kabul, jelas AS harus bersiap untuk memiliki tempat bermain baru.

Jelas AUKUS yang akan memasukkan kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, ke dalam persaingan strategis yang lebih besar. AUKUS jelas akan menggusur paksa kawasan dari posisi “sentralitas” yang digaungkan bersama ASEAN selama ini. Apakah hanya China yang akan terdampak dengan hadirnya pakta ini? Tentu saja, tidak. AS bersama AUKUS dan The Quad jelas akan menempatkan Asia Tenggara, yang terletak di pusat “Indo-Pasifik,” berada di garis terdepan pertarungan supremasi negara-negara pesertanya.

Meskipun, AUKUS dinyatakan sebagai bentuk komitmen tegas ketiga terhadap Asia Tenggara, sentralitas ASEAN, dan arsitektur yang telah dipimpin ASEAN selama ini. Maka pertanyaannya adalah: Bagaimana ASEAN–terutama Jakarta–akan tetap mampu memimpin di antara arsitektur baru kawasan yang semakin tumpang tindih, di mana Indonesia jelas harus melakukan persiapan revolusional terkait persaingan supremasi ini.

Ruang Lingkup Kerja sama Pertahanan AUKUS

Dengan mengakui lingkungan keamanan kawasan yang semakin kompleks dan menantang, maka AUKUS menegaskan pentingnya inisiatif konsekuensial dalam peningkatan kerja sama, dalam beberapa aspek pertahanan dan militer.
Selain kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia, ketiga negara telah bersepakat untuk membangun beberapa kerja sama, antara lain:

Pertama, pembangunan postur kekuatan dan integrasi aliansi.
Kedua, pembangunan kekuatan udara melalui penyebaran rotasi pesawat AS dan Australia diikuti pelatihannya.
Ketiga, pembangunan kekuatan aspek maritim, utamanya dalam kemampuan kapal permukaan dan kapal bawah permukaan
Keempat, pembangunan kekuatan Angkatan Darat, dengan latihan yang lebih kompleks dan terintegrasi, serta keterlibatan tentara gabungan yang lebih besar dengan mitra di kawasan.
Kelima, pembangunan kekuatan logistik & MRO gabungan, untuk mampu mendukung pertempuran dan operasi militer gabungan di kawasan saat diperlukan
Keenam, pembangunan kekuatan dalam kemampuan strategis senjata terpandu dan senjata peledak.
Ketujuh, pembangunan kekuatan dalam basis industri, untuk menjamin rantai pasokan pertahanan di kawasan.
Kedelapan, pembangunan kekuatan dalam domain antariksa, komando dan kontrol luar angkasa, komunikasi satelit, serta pemosisian, navigasi, dan pengaturan waktu.
Kesembilan, pembangunan kekuatan dalam aspek kemampuan satelit dan kemampuan luar angkasa, berikut perjanjian antariksa dalam penelitian, eksplorasi, dan penggunaan wilayah ruang angkasa.
Kesepuluh, pembangunan kekuatan yang lebih luas dalam forum intelejen strategis multilateral 5 Eyes (FVEY), serta
Kesebelas, pembangunan kekuatan dalam lingkungan dunia maya dan teknologi yang terbuka, bebas, aman, dan terjamin, dan menegaskan akan hukum internasional bagi ruang maya.

Selain setidaknya 11 aspek di atas, negara anggota AUKUS menyatakan “infodemic” adalah ancaman signifikan terhadap keamanan nasional dan regional. Sehingga ketiga negara bersepakat akan membentuk kelompok pemantau dan penanggap disinformasi menuju keamanan informasi.

Dalam konteks itu, ketiga negara menegaskan kembali peran verifikasi, inspeksi, investigasi, kepatuhan, deteksi, pelaporan independen dari lembaga internasional; pusat non-proliferasi senjata pemusnah massal, IAEA dan organisasi terkait pelarangan senjata kimia, dan komisi persiapan perjanjian pelarangan uji coba nuklir komprehensif.

Beberapa contoh kapal tempur TNI AL

AUKUS dan Pembangunan Supremasi Bangsa

Visi Presiden Jokowi di 2014 tentang menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia atau Global Maritime Fulcrum merupakan visi aktualisasi kepentingan supremasi bangsa. Patut diingat bahwa menjadi negara poros maritim dunia berarti juga menjadikan Indonesia sekaligus sebagai negara poros dirgantara dunia dan poros permukaan dunia.

Penegasan ini sesungguhnya menjadi sebuah momentum lompatan kembali, untuk bangsa ini mampu menyadari letak dan posisi Indonesia sebagai kekuatan dunia. Posisi yang berada di antara dua samudera dengan ruang udara di atasnya, dan mampu menggunakan posisi geostrategis dan geopolitiknya secara tepat guna, tepat waktu, dan tepat sasaran.

Kehadiran AUKUS sebagai aliansi yang dibentuk untuk perdamaian dan kemakmuran sebagai jangkar stabilitas, kawasan Indo-Pasifik yang terbuka, inklusif, dan tangguh, seharusnya menyadarkan ‘keterlenaan’ Indonesia atas rasa ‘aman’ pada lingkungan kawasan. “Keterlenaan” dan “rasa aman” itulah yang membuat Indonesia terus membuang waktu dalam membangun kesiapan dan persiapan pada aspek keamanan regional serta infrastruktur pertahanan dan teknologi.

Maka diharapkan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan dapat segera duduk bersama, menyusun roadmap baru politik luar negeri dan pertahanan, menuju ke pencapaian target. Yakni, untuk “berada di dua samudera,” dalam antisipasi risiko ancaman dari persaingan langsung dari gelar dan proyeksi kekuatan kawasan, yang segera akan dimulai oleh hadirnya AUKUS.

Makna supremasi negara adalah negara harus bebas membuat pilihan keamanan, politik, diplomatis, dan ekonomi, bebas dari paksaan eksternal dalam bentuk apa pun. Jelaslah, memiliki proyeksi kekuatan yang lethal, efektif, dan efisien akan membawa implikasi nyata dalam perubahan struktur sistem pertahanan, dari aspek pelatihan, peralatan, personel, doktrin, organisasi, infrastruktur, hingga logistik.

Keterbatasan anggaran yang mengakibatkan dibangunnya kekuatan pertahanan negara dan TNI berbasis ketersediaan anggaran adalah suatu excuse usang yang harus diakhiri segera. Hal ini mengingat potensi dan posisi geostrategis Indonesia, yang merupakan comparative advantage (tidak dimiliki oleh banyak negara).

Segenap penduduk, lautan beserta SLOC (Sea Lanes Of Communications) dan SLOT (Sea Lanes Of Trades), ruang dirgantara, dan seluruh ruang permukaan daratan Indonesia yang demikian strategis, merupakan kunci atas segala kunci keamanan kawasan.***

*Dr Connie Rahakundini Bakrie, pengajar di Prodi Magister Hubungan Internasional, The Smart Military University – Universitas Jendral Ahmad Yani.

Artikel ini tampil pada majalah Armory Reborn edisi ke - 12 Oktober 2021

Related Posts