PT. ARMORY REBORN INDONESIA
AUKUS: Implikasinya Bagi ASEAN dan Indonesia
Peta infografis ASEAN. Courtesy: Freepik

NOVEMBER 2021. Para pemimpin Australia, Inggris dan Amerika Serikat pada September 2021, mengumumkan pakta di mana Inggris dan AS akan membantu Australia memperoleh kapal selam bertenaga nuklir. AUKUS, demikian pakta baru itu disebut, juga mencakup kerja sama antara ketiga mitra dalam kemampuan siber, kecerdasan buatan, teknologi kuantum, dan kemampuan bawah laut tambahan.

Banyak pengamat memandang AUKUS sebagai upaya trilateral oleh tiga sekutu Barat untuk menghadapi tindakan-tindakan Republik Rakyat China yang semakin agresif di Laut China Selatan (LCS), serta untuk memenuhi tantangan abad ke-21.

Selain AUKUS, pengelompokan Quadrilateral Security, yang lebih dikenal sebagai “The Quad”, dan Free and Open Indo-Pacific (“FOIP”) –yang keduanya merupakan inisiatif yang dipimpin AS– menandakan niat Washington untuk memainkan peran yang lebih aktif di kawasan Indo-Pasifik.

Tanggapan negara-negara anggota ASEAN terhadap AUKUS beragam. Indonesia dan Malaysia telah menyatakan keprihatinan bahwa perjanjian pertahanan baru itu dapat merusak stabilitas regional, meningkatkan risiko konfrontasi militer di perairan regional, dan mengarah pada perlombaan senjata nuklir.

Filipina dan Vietnam, bagaimanapun, relatif lebih menyambut AUKUS. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa kedua negara ASEAN itu tetap terkunci dalam sengketa wilayah yang berlarut-larut dengan China di LCS.

Sengketa wilayah LCS dipandang sebagai salah satu masalah paling kompleks yang dihadapi ASEAN terkait dengan China. Beijing telah mengklaim hampir semua jalur air di Asia Tenggara, yang mengakibatkan tumpang tindih klaim dengan empat negara (Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam) dari sepuluh negara anggota ASEAN.

Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim wilayah dalam sengketa LCS, Indonesia telah terlibat dalam berbagai friksi di perairan Laut Natuna Utara dengan China. Laut Natuna Utara adalah ujung selatan dari LCS. Di perairan ini, klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line) China tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

ASEAN Tidak Kompak Soal China

ASEAN telah lama menggembar-gemborkan kebijakan non-intervensi. Tetapi posisi ASEAN dalam perselisihan agak dipengaruhi oleh pengaruh dan hubungan China dengan negara-negara anggota lainnya.

Kamboja dan Laos, misalnya, dikenal sangat bergantung pada China sebagai sumber investasi langsung asing (FDI). FDI China di Kamboja adalah 860 juta doillar AS dalam 11 bulan pertama tahun 2020. Ini merupakan peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya.

Dukungan Beijing juga memungkinkan Kamboja untuk memvaksinasi penuh lebih dari 65 persen penduduknya. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen baru-baru ini mengatakan, “Jika saya tidak meminta kepada China, (lalu) kepada siapa saya harus meminta bantuan?”

Di sisi lain, Filipina, yang memiliki banyak perselisihan dengan China terkait LCS, dapat dipahami lebih berhati-hati dan waspada terhadap Beijing. Sikap Manila ini tetap seperti itu, bahkan ketika negara-negara anggota ASEAN lainnya secara teratur dirayu oleh Beijing melalui bantuan ekonomi, investasi dalam pembangunan infrastruktur, dan diplomasi vaksin akhir-akhir ini.

Tidak mengherankan jika ASEAN tidak memiliki tanggapan yang koheren, atau terpadu terhadap klaim tegas China atas LCS. Contoh kasusnya adalah Kode Etik atau Code of Conduct (“CoC”) antara ASEAN dan China. CoC adalah kerangka kerja regional, yang menetapkan aturan dan standar di Laut China Selatan untuk menghindari konflik di perairan yang disengketakan.

Draft tunggal CoC diajukan pada 2018, dengan tujuan untuk menyelesaikannya dalam tiga tahun. Tetapi kemajuan penyelesaiannya terhenti, sebagian karena pandemi COVID-19, serta ketidakmampuan ASEAN untuk menyepakati posisi bersatu mengingat keragamannya.

David Hutt, kolumnis The Diplomat, pernah mengatakan, “Bukannya negara-negara ASEAN tidak ingin berpihak. Sebaliknya, mereka ingin mengambil kedua sisi.” Ini merupakan perbedaan penting.

 

Indonesia, dengan politik bebas aktifnya dan tradisi lama sebagai pendiri Gerakan Nonblok, tidak ingin dipaksa untuk memilih salah satu kubu: China atau AS. Dalam sengketa LCS, China bersengketa wilayah dengan empat negara ASEAN. Tetapi peran ekonomi dan pasar China untuk ekonomi negara-negara ASEAN juga signifikan.

Di sisi lain, kehadiran AS di kawasan juga dibutuhkan oleh ASEAN dan Indonesia untuk mengimbangi China. Sangar riskan, jika China –sebagai raksasa ekonomi dan kekuatan militer besar– dibiarkan dominan sendirian di kawasan ini.

Beberapa orang mengatakan bahwa pakta seperti AUKUS, Quad, dan FOIP, yang semuanya diprakarsai oleh negara-negara di luar kawasan, dapat menunjukkan bahwa kemampuan dan/atau kemauan ASEAN untuk mengelola lingkungannya sendiri berkurang.

Washington tentu melihat dan mengetahuinya, seperti yang ditunjukkan oleh langkahnya untuk masuk dengan respons strategis terhadap kebangkitan China di kawasan itu.

Ilustrasi kapal penjaga pantai China masuk ke perairan Indonesia. Courtesy: ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I

Implikasinya Bagi Indonesia

Indonesia bukan negara pengklaim dalam sengketa LCS. Tetapi Jakarta telah berhadapan dengan Beijing atas klaim teritorial China, yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di dekat Kepulauan Natuna, yang kebetulan merupakan basis strategis utama bagi Indonesia.

China adalah salah satu investor asing terbesar di Indonesia. China memiliki andil dalam proyek infrastruktur strategis, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan, dalam sebuah pernyataan 17 September 2021, bahwa mereka “dengan hati-hati” mencatat AUKUS. Diplomat senior Indonesia, Abdul Kadir Jailani, menulis di Jakarta Post bahwa “pembicaraan yang lebih mendalam” tentang AUKUS akan membantu membangun rasa saling percaya, percaya diri, dan diplomasi.

Pendekatan hati-hati Jakarta terhadap AUKUS berasal dari dua faktor. Pertama, pembentukan AUKUS dapat menyebabkan meningkatnya permusuhan dengan China di halaman belakang Indonesia.

Kedua, keterlibatan Australia dalam AUKUS dan akuisisi kapal selam bertenaga nuklir, tampaknya menjadi keprihatinan yang lebih besar bagi Indonesia.

Indonesia telah meminta Australia untuk mematuhi kewajiban non-proliferasi nuklirnya, dan mengingatkan Canberra untuk mempertahankan komitmennya terhadap perdamaian dan keamanan regional sesuai dengan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia).

Sejumlah peristiwa baru-baru ini di Laut China Selatan, antara Indonesia dan China, sama-sama memprihatinkan. Indonesia telah menghadapi beberapa “penerobosan” oleh kapal-kapal China selama bertahun-tahun. Contoh terbaru adalah pada akhir Agustus 2021.

Saat itu, sebuah kapal survei China, diapit oleh dua kapal Penjaga Pantai China dan sebuah kapal perusak, berlayar tanpa diundang ke ZEE Indonesia. ZEE Indonesia ini tumpang tindih dengan klaim sembilan garis putus-putus China. Sisa-sisa kotoran survei China tinggal di perairan itu selama tiga minggu.

Menanggapi penerobosan kapal-kapal China, Indonesia telah dan kemungkinan akan terus mengambil respons yang telah dikalibrasi ke depan. Hal ini karena Indonesia mencari keseimbangan yang rapuh, dalam hubungannya dengan China.

Pengamat memandang pengaturan AUKUS sebagai kartu tambahan di geladak kebijakan luar negeri “bebas dan aktif” Jakarta. Seperti yang dikatakan mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, “AUKUS adalah pengingat bagi ASEAN akan biaya keragu-raguan dan ketiadaan-keputusan, terhadap lingkungan geopolitik yang kompleks dan berkembang pesat”.

AUKUS berpotensi menjadi cara bagi pihak-pihak (meskipun di luar ASEAN) untuk mengendalikan dominasi Beijing yang semakin meningkat. Dan, ada kemungkinan bagi pihak-pihak eksternal ini untuk menanggung beban kemarahan Beijing di kawasan ini. Meskipun beberapa dampak kerusakan tambahan terhadap ASEAN sudah bisa diperkirakan. ***

Satrio Arismunandar

Artikel ini tampil pada majalah Armory Reborn edisi ke - 13 November 2021

Related Posts