PT. ARMORY REBORN INDONESIA
Diskursus Geopolitik Soekarno dan Masa Depan Indonesia

Perspektif Ilmu Hubungan Internasional

Disertasi Dr. Hasto Kristiyanto, dengan judul “Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya Terhadap Pertahanan Negara,” merupakan tonggak penting bagi dunia akademisi serta praktisi, khususnya di bidang Pertahanan dan Hubungan Internasional. Disertasi tersebut juga merupakan tawaran alternatif kepemimpinan model Soekarno yang dirumuskan Hasto sebagai: Kritis, Progresif, Geopolitik, dan Koeksistensi Damai.

Tulisan singkat ini terinspirasi oleh pidato disertasi Doktor Hasto. Penulis berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama disertasi tersebut dapat dibukukan untuk dapat dibaca oleh masyarakat luas.

Konflik, Diplomasi, dan Kepentingan Nasional

Literatur ilmu Hubungan Internasional ditandai dengan tiga paradigma besar: Realisme, Liberalisme (yang berbeda dengan Liberalisme di Amerika Serikat) dan Teori Kritis (Critical Theory).

Realisme – dengan varian Neorealisme – dipengaruhi oleh para pemikir antara lain: Thucydes, Machiavelli, Morgenthau, Walts. Beberapa karakteristik utama dari Realisme: a) Sifat dasar hubungan antar manusia yang anarkis (karena egoistik dan tingginya ketidakpercayaan atau distrust); b) Aktor utama adalah negara  – terutama negara-negara besar (great powers) – sebagai satu kesatuan seperti individu; c) Sistem politik internasional bersifat konfliktual, perebutan kekuasaan (power): d) Kekuasaan diterjemahkan pada kapabilitas material yang dapat diukur (tangible);  e) Kepentingan nasional yang utama adalah mempertahankan kedaulatan negara; f) Paradoks Keamanan: Tidak ada satu pun negara merasa aman, kecuali negara tersebut mempersiapkan keamanan secara maksimal; g) Setiap kekuasaan yang diperoleh negara A berdampak pada berkurangnya kekuasaan negara B (zero-sum game). Untuk itu negara B akan meningkatkan keamanan sehingga tercipta keseimbangan/balance of power.

Liberalisme – dengan berbagai varian Democratic Peace Theory, International Law – dipengaruhi oleh para pemikir antara lain Kant, Rosseau, Montesquieu, Adam Smith, dan Joseph Nye. Beberapa ciri utama antara lain: a) Manusia pada dasarnya bersifat anarkis, namun dapat diperbaiki; b) Penekanan pada kerjasama antarnegara yang saling menguntungkan; c) Mendukung berbagai lembaga internasional, seperti PBB, ASEAN, World Bank, Uni Eropa dan lainnya; d) Negara demokrasi memiliki kepentingan dan nilai yang sama, kemungkinan berperang sesama negara demokratis kecil; e) Pentingnya Soft Power sebagai kemampuan untuk bernegosiasi dengan negara lain; f) Globalisasi  adalah saling ketergantungan/interdependensi antarkelompok kepentingan dari masyarakat negara yang berbeda.

Teori Kritis (Critical Theory) – dengan variannya Marxisme, Feminisme, Konstruktivisme – dipengaruhi pemikir utama antara lain: Marx, Lenin, Galtung,  Beberapa karakteristik utama: a) Apabila Realisme dan Liberalisme memandang dunia sebagai fakta yang ada, Teori Kritis memandang dunia yang seharusnya ada (perlunya rekayasa manusia untuk mengubah); b) Sifat dasar manusia dipengaruhi oleh struktur ekonomi; c) Relasi kekuasaan bersifat tidak seimbang/asimetris, yang mendorong dominasi antara satu kelompok dengan kelompok lain; d) Imperialisme – Kolonialisme dan struktur ekonomi internasional yang asimetris menciptakan ketegangan  dalam struktur internasional.

Dengan kecerdasan di atas rata-rata dan literasi buku yang tinggi, Soekarno mampu menggabungkan tiga teori besar di atas dan menggunakan hal tersebut sebagai kebijakan Indonesia di bidang Pertahanan dan Luar Negeri.

Periode mempertahankan kemerdekaan (1945 – 1949), sejak awal kebijakan Soekarno menggunakan militer dan diplomasi dalam menghadapi Belanda. Perjanjian Renville (1948) merupakan contoh kerjasama militer-diplomasi untuk menjadikan perang Indonesia–Belanda menjadi isu internasional, dan Indonesia berhasil melibatkan Amerika Serikat dalam perundingan tersebut.

Pemberontakan PKI Muso (1948) di Madiun segera mendapat reaksi militer oleh Soekarno. Pemberontakan ini dinilai merongrong kewibawaan pemerintahan yang sah. Penumpasan pemberontakan PKI tesebut juga mengubah pandangan AS yang semula menerapkan kebijakan “Europe First” di Asia menjadi dukungan kepada Indonesia. Tekanan AS melalui ancaman pemotongan bantuan ekonomi Marshal Plan terhadap Belanda mengubah konstelasi peta konflik di Indonesia.

Penyelenggaraan Konferensi Asia–Afrika (1955) menunjukkan pandangan kritis Soekarno atas dominasi Blok Barat dan Blok Timur atas sistem internasional. Soekarno menawarkan blok Asia-Afrika (dan Amerika Latin) untuk terciptanya tatanan dunia yang lebih adil dan lebih stabil.

Pandangan kritis Soekarno berlaku juga pada Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB (lima negara: AS; Uni Soviet, sekarang Rusia; Prancis; Inggris dan China), yang memiliki hak veto atas keputusan apa pun terkait dengan perdamaian dunia.

Dalam pidato Soekarno di PBB (1960) dengan judul “To Build The World a New”  disampaikan antara lain pandangan Soekarno tentang prinsip musyawarah (sila ke-4 Pancasila) dapat dijalankan di PBB untuk tatanan dunia yang lebih adil dan damai. Sebagai catatan, hingga saat ini ASEAN menerapkan unanimously (musyawarah untuk mufakat) dalam pengambilan keputusannya, yang disebut sebagai the ASEAN Way.

Soekarno menerapkan prinsip Bebas-Aktif dalam isu pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Dengan memanfaatkan bantuan militer dari Soviet untuk bersiap konflik militer, namun sekaligus melakukan diplomasi kepada AS untuk menekan Belanda. Hasilnya Irian Barat dikembalikan oleh Belanda kepada Indonesia (1963).

Kepemimpinan Bebas-Aktif

Menurut paham Realisme, terdapat dua tipe kebijakan negara dalam menanggapi situasi anarkis sistem internasional: defensive dan offensive.  Dengan kebijakan defensive, berarti negara tersebut memandang kompetisi keamanan tidak berjalan secara sengit (intense), di mana kekuasaan negara yang wajar (appropriate vis-à-vis) negara lain dan lingkungan sekitarnya dapat dicapai.

Sedangkan kebijakan offensive dilakukan oleh negara, yang memandang relatif kekuasaan tdak mungkin dicapai. Dengan demikian, negara harus memaksimalkan kekuasaan karena kompetisi kekuasaan yang sangat kompetitif.

Pilihan Soekarno dengan kebijakan offensive dalam bentuk besarnya anggaran pertahanan, pembentukan organisasi NEFOS (New Emerging Forces), pernyataan perang terhadap pembentukan negara Malaysia serta kebijakan politik Mercusuar; tidak dapat dilepaskan dari situasi geopolitik internasional pada saat itu.

Pertama, Soekarno menilai Indonesia bukan saja negara besar (dari luas wilayah, penduduk dan berlimpahnya sumber daya alam), namun juga memiliki posisi strategis (di antara samudera Pasifik dan samudera Hindia).

Kedua, dengan pemikiran progresif, Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia – yang pernah dijajah selama 350 tahun – dapat segera mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa maju lainnya. Kepemimpinan offensive bertujuan untuk meningkatkan rasa percaya diri bangsa Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, pendekatan Liberalisme menguat. Struktur internasional lebih adaptif pada kerjasama internasional, dan penguatan lembaga-lembaga internasional, serta hukum internasional. Dunia menjadi lebih aman. Data dari Steve Pinker yang dikutip oleh Kishore Mahbubani (2019) menyebutkan, pada 1950-an sebanyak 65 ribu korban/tahun  meninggal akibat perang, menurun dratis menjadi 2 ribu korban pada tahun 2010-an.

Faktor maraknya demokrasi (Democratic Peace Theory) dan dunia yang makin sejahtera  ikut mendukung dunia yang lebih aman.  Menurut Our World in Data, selama 40 tahun terakhir terjadi kenaikan jumlah negara yang menggunakan sistem demokrasi: terdapat 28,78% negara demokratis (1970), 42,42% (1990), dan 60,62% (2010).

Data Bank Dunia menunjukkan – dengan basis daya beli USD 1,90 per hari/orang yang dikelompokkan sebagai orang miskin –  tahun 1990 total orang miskin sebesar 1,9 milyar (36% dari total populasi dunia). Pada 2015, jumlah orang miskin menurun menjadi 729 juta (10% dari total populasi). Diramalkan, pada 2030 jumlah orang miskin tinggal 585 juta (7% dari total populasi).

Namun demikian, terjadi konflik di Ukraina yang melibatkan negara-negara besar. Juga, terjadi penurunan kualitas demokrasi di dunia sejak 2004. Lembaga peneliti demokrasi dunia seperti: Economist Intelligence Unit, Freedom House dan Bertelsmann Transformation Index (BTI) sepakat, ada fenomena penurunan kualitas demokrasi di berbagai negara.

Indikatornya adalah: penurunan pemilu yang bebas dan jujur, penurunan kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat; serta dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi dunia, yang berdampak pada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Prospek Indonesia

Secara geopolitik, Indonesia dulu, sekarang, dan pada masa depan adalah negara yang strategis. Menurut studi UNCTAD, 40% dari rute perdagangan dunia melalui laut melalui perairan di wilayah Indonesia. Sementara itu dengan kekayaan sumber daya alam dan energi, Indonesia akan diuntungkan dengan peningkatan permintaan dunia akan produk sumber daya alam dan energi  sekitar 56% pada 2040.

Kekuasaan (power) Indonesia di bidang ekonomi diprediksi meningkat. Prediksi lembaga McKinsey, pada 2030 ekonomi Indonesia akan menjadi 7 besar di dunia dengan GDP sebesar USD 1,8 triliun. Sementara itu, Presiden Jokowi meluncurkan visi Indonesia Emas 2045 (2019) dengan prediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi no. 5 terbesar di dunia (GDP USD 7,3 trilyun).

Terdapat beberapa tantangan besar untuk dapat memenuhi ramalan tersebut: Pertama, kualitas sumber daya manusia yang produktif dan inovatif. Kedua, infrastruktur yang efektif dan efisien. Ketiga, transformasi ekonomi: kompetitif, terbuka dan efisien. Peningkatan tiga hal tersebut perlu didukung dengan anggaran yang besar.

Persaingan Amerika Serikat – China memiliki potensi konflik militer di wilayah Indo-Pasifik, khususnya di Laut China Selatan. Gelaran militer oleh AS (Armada VII) dan Armada China ataupun terbentuknya beberapa aliansi militer: AUKUS (Australia, Inggris, dan AS); Dialog Keamanan Segiempat/Quadrilateral Security Dialogue (AS, Australia, Jepang, India); Five Power Defense Arrangements (Australia, Singapura, Malaysia, Inggris); menjadikan wilayah sekitar Indonesia masuk dalam kategori “hangat.”

Dalam perspektif pertahanan-keamanan, tanggapan untuk ini adalah peningkatan kekuatan pertahanan, yang berarti penambahan anggaran pertahanan.

Salah satu pelajaran penting dari pemikiran Soekarno terkait geopolitik adalah kemampuan Soekarno untuk memahami berbagai pandangan geopolitik dan hubungan internasional, untuk selanjutnya meramunya dengan nilai dan kepentingan Indonesia. Agar mendapat dukungan maksimal, Soekarno mampu mengomunikasikannya dengan baik kepada masyarakat domestik dan internasional.

Artikel ini tampil pada majalah Armory Reborn edisi ke - 21 ( Juli 2022 )

Related Posts