PT. ARMORY REBORN INDONESIA
Prancis “Move-on” dari AUKUS

NOVEMBER 2021. Diumumkannya pakta pertahanan Australia-Inggris-Amerika Serikat (AUKUS), pertengahan September 2021, salah satunya berimplikasi pada pembatalan kontrak pembelian kapal selam diesel-elektrik buatan Prancis hingga 90 miliar dollar AS oleh Australia. Meski marah dan kecewa, Prancis tidak begitu saja mundur dari Indo-Pasifik.

Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis dan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada acara penandatangan kerja sama pertahanan baru di Elysee Palace, Paris, Prancis, 28 September 2021 Courtesy: Ludovic Marin/AFP via Getty

Prancis memfokuskan perhatiannya pada penguatan pertahanan Eropa yang lebih mandiri dan menata hubungan multilateral. “Eropa harus berhenti bersikap naif,” adalah pernyataan publik pertama Presiden Emmanuel Macron pasca-AUKUS, sembari merayakan kerja sama bersejarahnya dengan Yunani.

Prancis sempat mengalami turbulensi diplomatik dengan sesama pakta NATO akibat AUKUS. Ini bukan sesuatu yang asing bagi Macron, sejak insiden konferensi NATO 2019 dengan Donald Trump, juga dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.

Kerja sama trilateral à la Anglo-Saxon dan kehilangan muka Prancis itu menyedot atensi komunitas internasional. Bagaimana pendekatan geostrategi Indo-Pasifik dan langkah Prancis selanjutnya? Bagaimana Prancis (Macron) membuka kerja sama baru dan mengembangkan pertahanan negaranya, dan juga Eropa pasca-pensiunnya Kanselir Jerman Angela Merkel? Apa yang bisa Indonesia pelajari dari kasus Prancis ini?

Multilateralisme Inklusif

Bagi Prancis, Indo-Pasifik adalah realita kawasan yang sangat penting. Prancis eksis di kawasan ini karena memiliki sekitar 93 persen wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang mencakup samudra Hindia dan Pasifik.

Kawasan Indo-Pasifik juga menjadi tempat tinggal bagi 1,5 juta warga negara Prancis, serta 8.000-an pasukannya yang bertugas di sana. Selain itu, pusat perekonomian dunia telah beralih dari Atlantik ke Pasifik, di mana enam anggota G-20 berlokasi di sana (Australia, China, India, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan).

Indo-Pasifik juga sangat strategis. Tidak hanya dari segi masalah suplai energi, tapi juga biodiversitas hayati dan isu perubahan iklim –common goods yang selalu menjadi perhatian komunitas Uni Eropa.

Sejak Emmanuel Macron berkuasa, dia telah menaruh perhatian khusus pada kawasan Indo-Pasifik. Apalagi sejak Jepang menginisiasi Free and Open Indo Pacific (FOIP), yang kemudian diadopsi juga oleh Presiden AS Donald Trump, dan lalu dilanjutkan oleh Joe Biden.

Hanya saja, ketimbang pendekatan unilaterisme yang sering ditampakkan AS tidak hanya di NATO dan juga Indo-Pasifik, Macron menyejajarkan strategi politik luar negrinya sebagai alternatif FOIP itu. Yakni, struktur multikutub yang stabil, berdasarkan kepastian hukum dan gerakan kebebasan, serta multilateralisme yang adil dan efisien.

Kawasan Indo-Pasifik adalah jantung dari strategi ini, di mana Prancis bertindak sebagai kekuatan inklusif dan mediasi penyetabil (Buku Putih Pertahanan Prancis, 2018).

Pendekatan multilateralisme inklusif Prancis ini semakin didorong Macron kepada Uni Eropa pasca-efektifnya AUKUS. “Kita jangan menyerah pada eskalasi (terhadap China), ini persoalan bagaimana kita dihormati,” tandas Macron, pada wawancara sesudah pertemuan dengan PM Yunani September silam.

 

Prancis hingga saat ini adalah wakil kekuatan terbesar Eropa, yang hadir di kawasan Indo-Pasifik. Mereka tetap bergeming terkait strategi inklusif Indo-Pasifik yang diumumkannya tiga tahun silam.

Selain faktor bisnis, ada faktor national pride Prancis dan juga semakin menguatnya sentimen dukungan “third way” Prancis di kalangan petinggi negara-negara Uni Eropa. Kepentingan Uni Eropa tidak benar-benar sejalan dengan unilateralisme AS di Indo-Pasifik, apalagi sejak renggangnya hubungan AS di NATO semasa Trump, dan belum sempurna trust building-nya Biden.

Menarik untuk mengamati bagaimana pendekatan Jerman di bawah pemerintahan barunya ke depannya. Kebijakan Jerman, yang secara de facto sangat berpengaruh terhadap komunitas UE, seringkali membayangi peran Prancis.

Macron sendiri akan diuji elektabilitasnya menyambut pemilu presiden dan legislatif Prancis, April 2022. Dalam kebijakan luar negerinya, momentum AUKUS ini adalah kesempatan Prancis, agar suaranya serta peran UE lebih didengarkan dan kuat di kawasan Indo-Pasifik.

Selain operasional militer yang besar, hubungan ekonomi antara Prancis dan kawasan Indo-Pasifik semakin meningkat belakangan ini. Lebih 1/3 total ekspor Prancis menyasar kawasan Indo-Pasifik, dan penanaman modal asing (PMA) Prancis mencapai €320 miliar pada 2018 (meningkat 75% dibandingkan 2008). Courtesy: Kementerian Eropa dan Urusan Luar Negeri Prancis (2018)
Empat pilar strategi Indo-Pasifik Prancis. Courtesy: Armory Reborn

Kekuatan Alternatif Eropa

Peningkatan kerja sama pertahanan antara Prancis dan Yunani baru-baru ini dapat kita maknai, tidak hanya sebagai “pengobat luka” Macron akibat AUKUS, tapi juga sebagai benchmarking kepiawaian negosiasi politik dan kebijakan luar negerinya.

Yunani saat ini sedang bersitegang lagi dengan Turki, karena sengketa penguasaan kawasan laut kaya minyak di sekitar laut Mediterania. Tumpang tindih klaim ZEE Turki memanas pada 18 September 2021, setelah kapal-kapal fregat Turki menghalau kapal penelitian Prancis yang mewakili Yunani, tidak jauh dari perairan pulau Kreta.

Agresi militer Turki itu terjadi hanya satu hari pasca-pertemuan Uni Eropa, yang mendorong Turki agar menghormati praktik hukum internasional di sekitaran laut Mediterania. Pemerintah Turki langsung menolak seruan itu sebagai “bias.”

Dalam waktu 10 hari saja, Yunani kemudian menandatangani pakta pertahanan bersama Prancis, di mana Prancis akan membantu Yunani jika diserang pihak ketiga. Pada awal 2021, Yunani sebelumnya telah bersepakat membeli 24 unit jet tempur Dassault Rafale. Yunani menjadi negara Uni Eropa pertama yang membeli jet tempur buatan Prancis.

Dalam pakta 28 September itu, ikatan kerja sama di antara keduanya dilengkapi dengan penambahan pembelian tiga unit kapal fregat (plus opsi pembelian unit keempat) senilai €2,9 miliar. Naval Group akan melayani produksi fregat Yunani, sedangkan MBDA dan Thales akan memproduksi sistem rudalnya.

Pakta pertahanan antar-sesama anggota NATO ini adalah preseden bersejarah pertama. Pakta ini mengundang reaksi positif dari anggota NATO lainnya, seperti AS, Jerman, hingga Komisi UE. Dengan tidak selalu bergantung pada kekuatan AS, para analis pertahanan mempersepsikannya sebagai langkah pertama otonomi strategis Eropa dan awal menuju Angkatan Bersenjata Eropa (Europe’s Army).

Bagi Turki, keberadaan pakta ini “membahayakan,” karena Erdogan tidak jarang diasosiasikan dengan kebijakan ekspansif Neo-Ottoman Turki belakangan ini. Secara geopolitik, pakta Prancis-Yunani adalah metode penangkalan yang elegan terhadap ekspansionisme Turki.

Sambutan baik AS terhadap pakta pertahanan Prancis-Yunani ditandai juga dengan kunjungan Menlu AS Anthony Blinken ke Yunani pada 14 Oktober 2021. Kedua negara menandatangani kesepakatan pertahanan Mutual Defense Cooperation Agreement (MDCA), di mana Yunani mengizinkan akses militer AS terhadap markas-markas militernya, termasuk di perbatasan Turki.

Pihak AS secara simbolik mengatakan “saling menjaga dan melindungi kedaulatan dan integritas teritori kedua negara, dari hal-hal yang dapat mengancam perdamaian, termasuk serangan bersenjata.”

Secara nilai ekonomis, pembelian kapal fregat oleh Yunani tidak seberapa dibandingkan nilai pembelian kapal selam oleh Australia yang batal. Tetapi, secara diplomatik dan juga strategik, pakta pertahanan Prancis-Yunani adalah kemenangan besar bagi Macron dan juga pertaruhan reputasi internasional Prancis.

Di level komunitas Uni Eropa, manuver Macron menaikkan leverage Prancis. Meski demikian, ini semakin menambah pelik kesolidan negara-negara anggota NATO soal “anak badung” Turki.

Kondisi baru-baru ini juga diperparah dengan kemunduran dialog dengan Rusia, yang sepuluh stafnya diusir karena dicurigai sebagai mata-mata. Turki sendiri sering kali berperan sebagai jembatan antara Rusia, dunia Arab, dan negara-negara Barat di NATO.

Jet tempur Rafale buatan Dassault Prancis. Yunani adalah negara Uni Eropa pembeli pertama, Indonesia mungkin saja segera menyusulnya. Courtesy: Wikipedia

Platform Pertahanan Masa Depan

Dalam setidaknya 12 bulan terakhir saja, tensi tinggi dan konflik di berbagai wilayah dunia tidak bisa dipandang sebelah mata. Ada isu Laut China Selatan, yang terasa besar pengaruhnya ke Indonesia.

Selain itu, ada gesekan relatif besar di lapangan. Misalnya: konflik Armenia vs Azerbaijan, China vs India di perbatasan Ladakh, provokasi China “atas” (harfiah) Taiwan, uji coba rudal nuklir Korea Utara, pendudukan Rusia di Ukraina timur, berbagai peretasan siber masif, seperti SolarWind AS, krisis berlanjutan di Yaman, Israel vs Hamas Palestina, hingga eskalasi tensi Israel vs Iran.

Kejadian-kejadian itu menandakan masih rentannya keamanan dunia terhadap sengketa dan konflik. AS menawarkan ketergantungan kerja sama pertahanan adidaya yang unilateral. Tetapi Prancis (dan UE) bervisi pendekatan multilateral, sambil tetap mengacu pada praktik dan norma internasional pada umumnya.

Pada 22 September 2021, Prancis mengumumkan anggaran pertahanan terbaru 2022-nya sebesar €40,9 miliar. Selama empat tahun berturut-turut, Prancis telah mengalami peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan, sesuai dengan program militer Prancis 2019-2025.

Area-area pertahanan yang menjadi fokus Prancis adalah udara, pertahanan siber, dan operasional dibarengi intelijen. Terkait alutsista menuju kekuatan otonomi Eropa, ada dua teknologi militer next gen menarik yang sedang dikembangkan, antara lain:

Trilateral Prancis-Jerman-Spanyol Future Combat Air System (FCAS) atau dalam bahasa Prancis-nya système combat aérien du future (SCAF),

Next-generation tank Main Ground Combat System (MGCS), yang dikembangkan bersama oleh Prancis dan Jerman.

Dalam jangka pendek, Prancis akan menggelontorkan dana pertahanan tahun depannya untuk pembelanjaan senjata counter-drone (jammer), senjata counter-UAS laser untuk kapal perang, pengembangan sistem tempur berbasis cloud, hingga perekrutan 2.000 pasukan siber menjadi total 5.000 personel siber.

Selain penambahan berbagai senjata konvensional untuk AD, AL, dan AU-nya, menariknya Prancis juga menganggarkan peluncuran beberapa satelit militer pada 2022, untuk keperluan intelijen dan koordinasi operasi militer.

Sistem satelit militer Prancis, antara lain “gugus rasi Ceres” dan seri Syracause. Dengan sistem cloud dan satelit itu, platform pertahanan masa depan Prancis (dan Jerman dan Spanyol) dapat saling terkoneksi dan terintegrasi, terutama untuk operasional sistem FCAS nantinya.

Panggilan Sang Ayam Jantan

Ada pepatah lama Prancis “Petit a petit, l’oiseau fait son nid,” yang artinya sedikit demi sedikit, sang burung membangun sarangnya. Begitulah gambaran pelajaran moral yang bisa kita tarik dari semangat kesabaran dan ketekunan yang ditampilkan Prancis dan Presiden Emmanuel Macron, terkait pendekatan geostrategi dan peningkatan pertahanannya.

 

Indonesia mengedepankan prinsip kemerdekaan, berdikari, dan inklusivitas politik luar negeri bersemangat multilateralisme. Maka bagi Indonesia, pendekatan geostrategi Indo-Pasifik Prancis dan Uni Eropa sangat menarik untuk diikuti perkembangannya, dan mungkin saja dijajaki potensi kerja samanya.

Barangkali, itu pula salah satu alasan Menhan Prabowo Subianto aktif bertandang dan berkomunikasi dengan pemerintah Prancis belum lama ini. Indonesia memiliki segudang opsi berkualitas untuk meningkatkan kapabilitas pertahanannya, di tengah tensi regional yang semakin memanas karena isu LCS dan AUKUS sekarang. Pemerintah dan TNI seyogianya sedang mengantisipasi konflik besar dan terus berbenah diri.

Secara organisasi kemiliteran maupun bisnis swasta, perhatian Prancis dan Uni Eropa terhadap kawasan ASEAN dapat kita sambut baik sebagai peluang kerja sama latihan militer gabungan dan lain-lain. Serta meniru, bagaimana cara Prancis merangkul negara-negara tetangga dan komunitas wilayahnya untuk meningkatkan kebutuhan pertahanan sembari tetap berbisnis.

Sebagai negara maritim dan produsen alutsista, Indonesia sang wakil G-20 punya kepentingan memimpin wibawa ASEAN. Sekaligus pada saat yang sama, juga memiliki tantangan dalam memasarkan berbagai produk alutsista anyar-nya yang kompetitif–katakanlah, kapal-kapal dan persenjataan brown and green water navy-nya–kepada negara-negara tetangga dan sahabat.

Presiden Joko Widodo tentunya ingin meninggalkan warisan bersejarah, dalam peletakan dasar Poros Maritim Dunia menuju Visi Indonesia 2045, dua dekade mendatang.

Semuanya dimulai dari kesadaran berpikir strategis, manuver geopolitik yang elegan dan efisien, inovasi dan riset yang didukung pemerintah, dan tentu saja eksekusi rencana yang berkelanjutan. Mari kita “move-on” bersama Prancis agar semakin kuat dan berwibawa? ***

Denis Toruan

Artikel ini tampil pada majalah Armory Reborn edisi ke - 13 November 2021

Related Posts