PT. ARMORY REBORN INDONESIA
"LA GUERRE DE FUTUR" Peperangan Masa Depan yang Telah Dimulai Sekarang
Ilustrasi swarming drones yang bisa diluncurkan dari pesawat tempur maupun via darat

AGUSTUS 2021. “Bukan suatu hal yang kebetulan jika di tahun 2020, kami akan menjadikan teknologi anti-drone sebagai salah satu prioritas strategi pertahanan kami.”

(Florence Parly, Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, di Forum Innovation Défense 2020)

Inovasi merupakan salah satu kunci, yang mampu menjawab berhasil-tidaknya sistem pertahanan dan ketahanan negara. Yakni, dalam mengatasi ancaman, hambatan, gangguan dan serangan pihak lawan yang lebih dinamis, serta pembangunan sistem pertahanan nasionalnya. Kita bisa melihat hal ini berdasarkan fakta-fakta terjadinya konflik di dunia.

Kemajuan teknologi pertahanan dan militer mampu memberikan lompatan pemikiran dalam hal metode pengoperasian alutsista, mengubah doktrin pertempuran untuk memenangkan perang, serta cara mempertahankan kedaulatan dan pertahanan negara dari ancaman serangan musuh.

Menurut Scott Jasper, dalam bukunya Transforming Defense Capabilities, fenomena itu disebut Revolutionary Military Affair (RMA). Terlebih di era Revolusi Industri 4.0, di mana penggunaan teknologi nirawak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) telah berkembang sangat pesat.

Penggunaan alutsista ini tidak hanya sebatas sebagai pengintai dan pengindera jarak jauh. Namun, wahana tanpa awak ini berhasil menjadi “Game Changer” dalam peperangan, konflik bersenjata, perlawanan terhadap terorisme, penegakan yurisdiksi hukum, dan kebijakan politik luar negeri suatu negara terhadap negara lawan di era modern.

Bahkan, Kementerian Pertahanan Inggris, melalui Menteri Pertahanan Gavin Williamson menyatakan, pada 2020 Royal Air Force (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) dijadwalkan membentuk Skadron 216 di pangkalan udara Weddington, Lincolnshire. Di sana dirancang konsep operasi penggunaan alutsista udara “Swarming Drone,” yang bertujuan untuk menyerang sekaligus melemahkan sistem pertahanan udara lawan.

Keunggulan senjata ini adalah kemampuan drone yang disebarkan, untuk melaksanakan misi penghancuran berdasarkan data karakteristik musuh, sehingga kemungkinan salah sasaran akan diminimalisir. Hal ini karena masing-masing drone memiliki kemampuan merespon dinamika lapangan dengan menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI).

Konsep pembuatan senjata ini berasal dari metode serangan serangga terhadap hasil panen di ladang jagung atau gandum, yang merusak hasil panen secara bergerombol dan bergerak secara acak. Sehingga ini akan menyulitkan tracking sasaran oleh rudal Air Defense System atau senjata Close In Weapon System (CIWS) musuh.

Hal fundamental ini tidak terlepas dari konsep RMA dalam lingkungan militer. Komite Bidang Sains dan Teknologi dari NATO Parliamentary Assembly menyatakan, konsep dasar RMA adalah: “A Revolution in Military Affairs (RMA) is a major change in the nature of warfare brought about by the innovative application of new technologies which, combined with dramatic changes in military doctrine and operational and organisational concepts, fundamentally alters the character and conduct of military operations.

RMA adalah perubahan utama dalam hakikat pertempuran, yang disebabkan oleh penerapan inovatif dari berbagai teknologi baru, yang –dikombinasikan dengan perubahan-perubahan dramatis dalam doktrin militer dan konsep-konsep operasional dan organisasional—secara mendasar telah mengubah karakter dan pelaksanaan operasi-operasi militer. Hal itu dikatakan Andrew Marshall, Director of the Office of Net Assessments di Kementerian Pertahanan Inggris.

Sedangkan untuk tren pelibatan RMA dalam suatu peperangan atau pertempuran, ada teori yang dikemukakan Jenderal Gordon Sullivan, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat. Menurut Sullivan, pengembangan teknologi persenjataan modern yang mengadopsi teori RMA memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Daya mematikan yang lebih besar (greater lethality). 

Peningkatan volume dan presisi tembakan terhadap target (increased volume and precision of fire).

Kemampuan pengintegrasian teknologi yang lebih baik, yang menyebabkan peningkatan efisiensi dan efektivitas (better integrative technology leading to increased efficiency and effectiveness).

Peningkatan kemampuan serangan oleh unit-unit yang lebih kecil, untuk menciptakan hasil serangan yang menentukan (increasing ability of smaller units to create decisive results).

Peningkatan kemampuan siluman sehingga sulit dideteksi, dan peningkatan kemampuan deteksi (greater invisibility and increased detectability).

Penerapan RMA dalam Konflik Terbuka Era Milenial

Pengembangan teknologi militer UAV telah membuka mata dunia bahwa peperangan modern ke depan akan sangat ditentukan oleh teknologi nirawak yang dipersenjatai sebagai “special weapon,” dengan efektifitas penghancuran target sasaran yang sangat tinggi dan sulit dideteksi.

Penggunaan RMA persenjataan era milenial telah dibuktikan pada konflik terbuka bersenjata antara Armenia melawan Azerbaijan dalam  perebutan wilayah Nagorno–Karabakh. Hasil akhir peperangan menyatakan, wilayah Nagorno-Karabakh berdasarkan hukum internasional masih tetap menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Azerbaijan.

Dari pertempuran itu terbukti bahwa “magic bullet” atau rudal yang ditembakkan oleh drone UAV Bayraktar TB-2 buatan Turki ke arah kamp-kamp pertahanan, sistem persenjataan anti-udara, dan tank-tank lapis baja Armenia, telah meraih sukses besar. Hal itu membuat gentar PM Armenia Nikol Pashinyan, yang pergi ke meja perundingan pada 10 November 2020 pukul 01.00 waktu setempat.

Dengan penuh kebanggaan, Bagian Penerangan Angkatan Bersenjata Azerbaijan, berdasarkan rilis video resmi hasil pertempuran dan melalui pemberitaan di media massa internasional, melaporkan kemenangannya. Hingga 3 Oktober 2020, kekuatan Angkatan Bersenjata Azerbaijan berhasil meluluhlantakkan 250 kendaraan lapis baja dan artileri, ditambah 39 unit sistem pertahanan udara Armenia.

Dengan rapuhnya kekuatan militer yang mempertahankan wilayah Nagorno-Karabakh dan ketidakberdayaan militer Armenia melawan gempuran UAV Bayraktar TB-2, hal ini telah memaksa negara tersebut melakukan gencatan senjata, serta melanjutkan penyelesaian masalah ke meja perundingan. Dari konflik terbuka ini bisa kita simpulkan, dengan adanya RMA maka unit yang kecil mampu menghasilkan serangan yang menentukan hasil peperangan. Unit kecil itu adalah teknologi persenjataan UAV Bayraktar TB-2 pabrikan Turki.

Penggunaan teknologi ini pun telah menjadi pilihan utama dalam menghadapi konflik dengan negara lain. Seperti, konflik antara Amerika Serikat dengan Iran tentang tuduhan pengembangan senjata nuklir, serta turut campurnya Iran dalam urusan dalam negeri Irak. Pembunuhan pemimpin Garda Revolusi Iran, Mayjen Qasem Soleimani, adalah perintah langsung dari Presiden Donald Trump. Soleimani tewas akibat serangan drone AS di dekat bandara internasional Baghdad, Irak, pada 2 Januari 2020 waktu setempat.

Mengutip Daily Mail, drone MQ-9 Reaper diterbangkan dari US Central Command yang berada di Qatar. Keakuratan dan kepresisian serangan kepada high value target oleh drone  seharga 64 juta dollar AS atau Rp 921,6 miliar itu tentu menambah kepercayaan diri negara pengguna, serta memadamkan niat lawan atau negara yang berpotensi menjadi musuh untuk mengangkat senjata. 

Kejadian luar biasa di atas membuktikan bahwa seni berperang telah berubah secara radikal. Pelaksanaan serangan udara ke wilayah pertahanan musuh terhadap target strategis biasanya dilaksanakan oleh pesawat jet tempur yang diawaki pilot. Tetapi pesawat berawak itu kini tergantikan dengan pesawat UAV nirawak yang relatif lebih lincah, lebih senyap dalam penerbangan, serta pengoperasiannya melalui jarak jauh, lintas negara. UAV ini berkecepatan 350 km/jam dengan kemampuan penghancuran target sangat presisi dan mematikan.

Pengembangan Drone Udara, Permukaan dan Bawah Air

Dalam kehidupan yang pasti adalah perubahan itu sendiri. Era peperangan dengan menggunakan wahana nirawak, sebagai salah satu aset pertempuran, akan senantiasa mengalami perubahan dan penyempurnaan. Ini akan menjadi salah satu senjata pemukul yang dimiliki armada laut.

Memang, belum ada konflik terbuka di era 2012-2020 yang menggunakan wahana tanpa awak sebagai salah satu aset pertempuran laut. Namun, negara-negara maju telah melaksanakan riset dan uji coba penyempurnaan dari model pertempuran yang terjadi di daratan.

Tidak menutup kemungkinan, teknologi ini akan digunakan oleh pihak yang unggul dalam teknologi, tidak hanya sebagai aset surveillance atau intelijen. Namun, pelan tapi pasti ini akan bertransformasi sebagai kekuatan nirawak udara penghancur high value unit (HVU) konvoi kapal permukaan, karena pola operasi “Swarm Drones” telah berhasil diuji coba oleh militer AS.

Pengembangan dan penggunaan teknologi drone bawah laut saat ini secara faktual telah banyak ditemukan di perairan Indonesia, yang digunakan untuk kepentingan survei bawah laut, perikanan, dan pemetaan. Secara logis, kita juga bisa berasumsi, jika peralatan navigasi dan sistem penyelaman berfungsi dengan baik di kedalaman tertentu, maka untuk keperluan militer atau pertempuran laut di masa yang akan datang, drone bawah laut akan bertransformasi menjadi wahana pembawa senjata torpedo bawah laut yang dikendalikan (Unmanned Autonomous Subsurface Weapon).

Karena drone tersebut hanya membutuhkan sedikit modifikasi. Yaitu, jika berukuran mini maka yang dibutuhkan adalah penambahan hulu ledak di dalam desain lanjutannya, yang bisa menghancurkan lunas kapal sekelas korvet, frigate, atau bahkan kapal induk.

Dilansir dari US Naval Institute (USNI), Commander (Ret.) Brian Dulla mendesain dan menyarankan untuk pengembangan US Submarine New Orca Drone, untuk memiliki peran ofensif di masa yang akan datang. Ini berarti drone itu bisa membawa senjata torpedo dan ranjau laut (operasi peranjauan yang bersifat offensive).

Teknologi Unmanned Surface Vehicle telah dikembangkan secara maksimal dan paripurna oleh Angkatan Bersenjata Israel, dalam pengembangan senjata nirawak permukaan sebagai aset pertempuran laut. Piranti ini telah dilengkapi dengan Sewaco yang canggih, seperti halnya kapal perang produksi negara NATO. Ia dilengkapi dengan Forward Looking Infra Red (FLIR) dan senjata rudal fire and forget, yaitu Spike’s Missile yang memiliki daya hancur tinggi.

Apabila kapal ini dioperasikan pada malam hari dan di wilayah kepulauan yang banyak rumpon-rumpon penangkap ikan, ia akan sulit sekali untuk dideteksi secara visual atau menggunakan radar permukaan. Karena, kecepatan maksimal kapal nirawak ini sampai dengan 50 knots (92 km/jam). Angkatan Laut Singapura telah memesan piranti ini untuk dioperasikan di perairan Teluk Persia.

Kesimpulan

     Adanya kemajuan teknologi militer mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam pertempuran dan sangat menentukan hasil peperangan. Maka, pengembangan serta pembangunan kekuatan pertahanan, yang berupa prototipe wahana nirawak dalam negeri harus mulai digalakkan.

Hal tersebut akan menjadi suatu yang strategis bagi industri pertahanan dalam negeri. Hal ini sekaligus memperkuat ketahanan nasional dalam menghadapi bayang-bayang embargo, yang disebabkan oleh kebijakan politik luar negeri negara produsen yang tidak sesuai dengan kebijakan politik RI.  Sekaligus, ini mendukung program prioritas pertahanan yang telah disetujui pada Rapim TNI 2021, selaras dengan kebijakan Kementerian Pertahanan RI dan TNI sampai 2024.

Sesuai dengan falsafah kehidupan dalam bernegara, bangsa pemenang akan senantiasa menjadi “pioneer” dan memiliki tingkatan adaptasi dan inovasi yang tinggi dalam kawasan regional dan global. Yakni, salah satunya dalam pembangunan konsep peperangan dan seni berperang di masa yang akan datang (La Guerre de Futur). “Dalam peperangan, tidak ada kondisi yang konstan. Dia yang dapat mengubah taktiknya dalam kaitannya dengan lawannya akan berhasil dan menang” (Sun Tzu, Seni Perang). ***

*Mayor Laut (P) A. Sen Sagupta adalah Kasiops Puspenerbal di Mako Puspenerbal Juanda, Surabaya.

Artikel ini tampil pada majalah Armory Reborn edisi ke - 10 Agustus 2021

Related Posts